Kilasborneo.com – Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa risiko perekonomian global pada 2022 memberikan tantangan bagi upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional. Risiko ini dipicu oleh perang antara Rusia dan Ukraina yang kembali meningkatkan fragmentasi politik dan ekonomi dunia.
Secara umum, terdapat lima permasalahan yang mengemuka dan saling berkaitan sehingga perlu diwaspadai karena dapat memberikan tekanan terhadap perekonomian nasional. Pertama, pertumbuhan ekonomi dunia menurun sejalan dengan kenaikan fragmentasi politik dan ekonomi dunia.
Hal ini seiring dengan peningkatan risiko resesi di negara maju. Kedua, inflasi meningkat sangat tinggi di negara-negara maju akibat gangguan pasokan komoditas energi dan pangan. Ketiga, suku bunga acuan kebijakan moneter global meningkat tajam.
Peningkatan ini diperkirakan terjadi dalam periode lama sebagai respons atas kenaikan tajam inflasi tersebut, seperti yang terjadi pada Fed Funds Rate (FFR). Keempat, penguatan tajam mata uang dollar AS seiring dengan kenaikan FFR dan ketidakpastian pasar keuangan global. Hal ini memberikan tekanan pada banyak mata uang dunia, termasuk rupiah. Kelima, fenomena cash is the king terjadi sejalan dengan persepsi risiko investor global yang tinggi.
Hal ini membuat investor menarik dananya dari negara berkembang, termasuk Indonesia, ke instrumen investasi yang dipandang likuid dan mendekati cash. Berbagai indikator tersebut perlu dicermati dan direspons dengan tepat. Pasalnya, bila kondisi ini terus berlanjut dapat memicu stagflasi, bahkan resesi dan inflasi tinggi di perekonomian global. Di tengah tantangan global tersebut, pemulihan ekonomi nasional terus berlanjut dengan stabilitas yang terjaga pada 2022.
Kinerja ekspor diprediksi tetap kuat seiring dengan permintaan mitra dagang utama yang besar serta dukungan kebijakan pemerintah. Pertumbuhan ekonomi pada 2022 diperkirakan meningkat dalam bias atas kisaran 4,5-5,3 persen. Stabilitas eksternal tetap terjaga karena didukung Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang tetap sehat dan membaik secara kinerja.
Hal ini sejalan dengan surplus transaksi berjalan di tengah tekanan pada transaksi modal dan finansial, khususnya investasi portofolio. Selain itu, respons cepat BI dalam menanggapi situasi perekonomian global juga berkontribusi dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, khususnya di tengah terjadinya fenomena strong dollar dan ketidakpastian pasar keuangan global.
Meski lebih tinggi dari kisaran sasaran 2022, inflasi di Indonesia masih lebih rendah dari proyeksi awal dan diperkirakan akan kembali ke sasaran pada 2023. Inflasi masih sejalan dengan perkembangan pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. BI menilai, stabilitas sistem keuangan Indonesia masih tetap baik dengan ketahanan yang terjaga dan fungsi intermediasi yang meningkat. (*)
Leave a Reply