TAJUK mengenai pemberian hibah oleh pemerintah daerah (pemda) ke sejumlah institusi sempat mewarnai pemberitaan di berbagai media beberapa waktu lalu. Polemik atas pemberian hibah pun bermunculan apabila disandingkan dengan urusan pemda yang seharusnya mendapatkan prioritas lebih.
Penanggulangan kemiskinan, penyediaan sarana dan prasarana, serta peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat merupakan contoh kewajiban pemda yang dianggap paling mendasar dan urgen. Pemberian hibah dianggap kurang begitu mendesak khususnya jika penerima hibah merupakan institusi yang secara fiskal lebih mampu dibandingkan pemda. Komentar dari berbagai pihak pun menyayangkan pemberian hibah tersebut yang ternyata mengurangi alokasi anggaran yang lain.
Pemberian hibah maupun penerimaan hibah merupakan sebuah kelaziman yang berlaku di pemerintah baik pusat maupun daerah. Hal tersebut nampak dalam anggaran pemerintah yang memberikan ruang khusus bagi pengelolaan hibah. Baik ABPN maupun APBD memiliki struktur tentang hibah dan menempati dua sisi sekaligus yaitu pada sisi pendapatan dan belanja. Pada sisi pendapatan, hibah menempati kelompok tersendiri yaitu Penerimaan Hibah. Sedangan pada kelompok belanja pun tersedia penggolongan untuk menampung Belanja Hibah.
Bagi pemda, pengalokasian anggaran untuk pemberian hibah akan terlihat pada sisi belanja APBD. Prosedur tersebut dimulai dari usulan pemberian hibah yang ditujukan ke kepala daerah, evaluasi, hingga muncul dalam APBD. Hibah yang dialokasikan tersebut dapat diberikan kepada pemerintah pusat, pemda lainnya, BUMN, BUMD, dan/atau badan dan lembaga, serta organisasi kemasyarakatan yang berbadan hukum Indonesia.
Sedangkan apabila pemda berposisi sebagai penerima hibah, maka si pemberi hibah dapat berasal dari kelompok masyarakat maupun institusi yang berupa badan, lembaga, atau organisasi. Berdasarkan lokasi pemberi hibah, akan terbagi atas hibah yang berasal dari dalam atau luar negeri. Antar pemda dimungkinkan untuk saling memberikan hibah satu sama lain. Praktik yang umum terjadi adalah adanya pemberian hibah dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota di dalam provinsi yang sama.
Selain Belanja Hibah, terdapat pula jenis belanja lain yang memiliki kemiripan yaitu Belanja Bantuan Sosial. Kedua jenis belanja tersebut memiliki kemiripan dikarenakan hibah dan bantuan sosial diberikan dalam waktu yang terbatas alias tidak terus menerus. Selain itu penerima hibah dan bantuan sosial bukan merupakan bagian dari pemda. Pemberian hibah dan bantuan sosial ditujukan kepada individu, sekelompok masyarakat, atau institusi yang berada di luar lingkup pemda.
Secara pengertian, Belanja Bantuan Sosial merupakan pengeluaran berupa transfer uang, barang, atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat.
a. Bantuan sosial berupa uang diberikan secara langsung kepada penerima berupa beasiswa bagi anak miskin, yayasan pengelola yatim piatu, nelayan miskin, masyarakat lanjut usia, terlantar, cacat berat dan tunjangan kesehatan putra putri pahlawan yang tidak mampu.
b. Bantuan sosial berupa barang diberikan secara langsung kepada penerima berupa bantuan kendaraan operasional untuk sekolah luar biasa swasta dan masyarakat tidak mampu, bantuan perahu untuk nelayan miskin, bantuan makanan/pakaian kepada yatim piatu/tuna sosial, ternak bagi kelompok masyarakat kurang mampu.
Adapun makna risiko sosial adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana alam yang jika tidak diberikan Belanja Bantuan Sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup dalam kondisi wajar.
Pada kurun tahun 2019 hingga 2022 total belanja seluruh pemda berada pada rentang yang relatif tetap. Belanja seluruh pemda berada pada angka antara Rp1.100-1.200 triliun setiap tahunnya. Khusus mengenai hibah, tren yang terjadi menyatakan bahwa Belanja Hibah mengalami pertumbuhan dibandingkan dengan Penerimaan Hibah. Jika pada tahun 2019 Penerimaan Hibah dari seluruh pemda berjumlah Rp37 triliun maka pada tahun 2022 angka tersebut menyusut hingga tersisa hanya Rp8,8 triliun. Di sisi lain, Belanja Hibah yang dikeluarkan pada tahun 2019 berjumlah Rp74,1 triliun, melonjak menjadi Rp88,6 triliun pada tahun 2020, dan kemudian turun menjadi Rp51,8 triliun pada tahun 2022.
Peningkatan fenomena Belanja Hibah pada pemda tersebut menjadi kontras apabila disandingkan dengan Belanja Bantuan Sosial yang dikeluarkan oleh pemda. Pada rentang waktu yang sama, alokasi Belanja Bantuan Sosial memiliki tren stagnan meskipun pada waktu yang sama terjadi pandemi di seluruh tanah air. Dari tahun 2019 hingga tahun 2022, besaran Belanja Bantuan Sosial dari seluruh pemda hanya berkutat di angka Rp11-13 triliun setiap tahunnya.
Meskipun kedua jenis belanja tersebut dialokasikan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah namun dari besaran yang dibelanjakan terlihat kemana prioritas yang dipilih oleh pemda. Akan menjadi sebuah ironi tatkala pemda cenderung lebih suka memberikan hibah namun sedikit abai terhadap pemberdayaan masyarakat di wilayah masing-masing. Isu terkait pertanggung jawaban keuangan menjadi salah satu alasan mengapa pemda cenderung lebih suka memberikan hibah dibandingkan bantuan sosial.
Seandainya pun pemda terbentur pada masalah pertanggungjawaban penerima bantuan sosial, seharusnya yang dilakukan adalah menyusun regulasi yang aplikatif agar terjadi keselarasan antara pemberian bantuan sosial serta mekanisme kontrol atas pemberian tersebut. Bukan kemudian malah meminggirkan masyarakat setempat yang merupakan penerima manfaat paling utama dari keberadaan sebuah pemda. (***)
Ditulis oleh Kurniawan Budi Irianto, Pejabat pengawas pada Kementerian Keuangan. Menulis untuk mengisi waktu luang. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari tempat penulis bekerja.
Leave a Reply